TIM: Menanti Keputusan Mahkahmah

Budaya596 Dilihat

Oleh: Tatan Daniel

(Penyair, Aktivis Forum Seniman Peduli TIM)

Berita “Tiga Museum Prioritas BLU” (Kompas, Sabtu, 28 Januari 2023), menggelitik perhatian banyak pihak. Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Museum Benteng Vredeburg, yang dikelola oleh UPT Museum dan Cagar Budaya Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek disebutkan akan dikembangkan sebagai model percontohan pengelolaan berbasis Badan Layanan Umum (BLU). BLU, dan BLUD (untuk daerah) adalah institusi yang dibentuk untuk mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat, tanpa mencari keuntungan.

Jika ditautkan dengan dengan model pengelolaan Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) saat ini, maka kabar tersebut sungguh sangat signifikan untuk dibincangkan.

Berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo (Perseroan Daerah) untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta TIM, juncto Pergub Nomor 16 Tahun 2022, pengelolaan tiga perempat kawasan TIM yang direvitalisasi ditetapkan di bawah kuasa BUMD itu. Sisanya, diurus oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, melalui Unit Pelaksana Teknis PKJ-TIM.

Pemberian kuasa luar biasa itu bisa terjadi, karena Pemprov. Jakarta beranggapan tidak sanggup membiayai TIM. PT Jakpro pun “dimodali‟ untuk merevitalisasi TIM.

Satu triliun lebih dana digelontorkan sebagai ‘pinjaman.’ Untuk pengembaliannya, perusahaan daerah itu diberi hak menyewakan seluruh ruangan dan bangunan yang ia kuasai, selama 28 tahun, dengan tarif yang mereka tentukan sendiri, tanpa melalui Peraturan Daerah.

Kini, faktual ada dua instansi Pemerintah Provinsi Jakarta yang mengelola TIM. Pertama, PT Jakpro, dengan hanya bermodalkan Pergub. Instansi yang berdasarkan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD; pasal 7, butir c, tujuan pendiriannya adalah untuk “memperoleh laba dan/atau keuntungan.”

Kedua, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Yang berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2019, absah diberi amanah, wewenang, dan tanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan, termasuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki.

Kebijakan aneh itu memicu munculnya gerakan #saveTIM, oleh Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM), yang didukung sejumlah tokoh, seperti Ajip Rosidi, Radhar Panca Dahana, Putu Wijaya, Rudolf Puspa, Toety Herati, Butet Kartaredjasa, Mohamad Sobary, Nano Riantiarno, Syahnagra, dan lainnya. Dengan maksud, mencegah berulangnya preseden buruk dalam pembangunan dan pengelolaan TIM, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.

Oleh karena tuntutan untuk mencabut Pergub bermasalah itu tidak juga dipenuhi oleh Gubernur DKI Jakarta, maka pada bulan Agustus tahun lalu, FSP-TIM telah mengajukan hak uji materiel (judicial review) ke Mahkamah Agung. Diregistrasinya permohonan dengan Nomor Perkara: 53/P/HUM/2022, menegaskan bahwa perkara yang diajukan bersifat urgen, tidak sederhana, berskala nasional, memenuhi asas dan prasyarat hukum. Pengajuan hak uji materiel didasarkan pada fakta obyektif bahwa Pergub Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 16 Tahun 2022, yang memaksakan kehadiran PT Jakpro di TIM bertentangan dengan banyak aspek: nilai moral, sejarah, juridis, administratif, etika kebijakan.

Foto Tatan Daniel

Pertama, ia tidak sejalan dengan ketentuan dan semangat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan perlindungan terhadap ruang-ruang ekspresi kesenian. Bahwa TIM wajib dikelola dengan memperhatikan asas-asas, tujuan, strategi, perlindungan, pengamanan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan atas obyek pemajuan kebudayaan.

Kedua, peraturan Gubernur tersebut mengakibatkan terjadinya dualisme kepentingan dan kewenangan, antara Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan PT Jakpro. Dualisme yang potensial menimbulkan kekacauan terhadap cara-cara pengelolaan kesenian. Kalangan seniman menilai bahwa Pergub yang ganjil dan absurd itu adalah malpraktik kebijakan, bersifat sepihak, mengandung moral hazard, dan tidak memuliakan semangat partisipatori. Ia memberangus banyak hal sekaligus: hakekat dan sejarah TIM, hak dan kepentingan seniman, serta kewenangan Dinas Kebudayaan.

Ketiga, peraturan Gubernur itu telah menafikan dasar pemikiran bahwa pembangunan, pengelolaan, dan pemanfaatan TIM adalah tanggung jawab negara. Bahwa membiayai TIM, adalah obligasi kultural, dan obligasi konstitusional. Sama dengan membangun dan membiayai puluhan ribu sekolah, ribuan pasar, rumah sakit, jalan-jalan raya.

Keempat, sejak awal revitalisasi, PT Jakpro berkali-kali mengumumkan bahwa pihaknya akan bekerja dengan cara mengkomersialkan kawasan TIM, sampai ke sendi-sendinya. Niat yang ditolak keras oleh para seniman, yang berpandangan bahwa Taman Ismail Marzuki adalah oase kesenian yang harus bebas dari segala kalkukasi rugi laba. Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, pada Musyawarah Kesenian Jakarta, Nopember 2022 yang lalu, pun telah mengingatkan bahwa “kebudayaan adalah ‘barang’ publik (public goods). Oleh karena itu, layanan kebudayaan harus ada, bersifat terus-menerus, bukan tergantung dari banyak tidaknya penonton. Jangan ditanya TIM akan menghasilkan berapa. Jangan cepat-cepat dilarikan ke (urusan) pariwisata dan ekonomi kreatif!”

Kelima, peraturan Gubernur tersebut telah merugikan para seniman, baik materiel maupun immateriel, karena tidak bisa lagi menggunakan ruang-ruang ekspresi seni mereka dengan leluasa. Pengelolaan TIM semestinya didasarkan pada prinsip pelayanan publik yang baik, dan sehat, dengan merujuk pada asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, keadilan, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan pelayanan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Keenam, jika kebijakan pragmatis yang amat memalukan itu dibiarkan, ia akan menjadi contoh buruk, yang bukan tak mungkin polanya akan ditiru mentah-mentah, oleh para gubernur dan bupati di daerah kekuasaannya masing-masing, dalam memperlakukan ruang-ruang ekspresi seniman.

Ketujuh, TIM tidak pantas dikelola oleh sebuah perusahaan, melainkan oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Lembaga yang dimungkinkan memberikan pelayanan publik, dengan mengedepankan manfaat (benefit) ketimbang laba (profit). Yang bekerja dengan semangat entrepreneurship, dan paham ikhwal haluan TIM. Dengan didukung oleh kelompok ahli di bidang yang dibutuhkan, para manajer profesional yang inovatif, piawai, dan cerdas mengelola kegiatan, dan usaha.

TIM bukanlah sekonyong-konyong berdiri karena dibangun oleh PT Jakpro. Ia lahir dari gagasan luhur para tokoh visioner: Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan kawan-kawan. Sebagai situs, sebagai kawasan konservasi yang telah menyejarah, pusat kesenian Jakarta itu tak bisa dikubur hanya oleh iklan banal “Wajah Baru TIM.” Sebab, ketika kedudukan dan fungsi idealnya diruntuhkan, maka runtuhlah segala bangunan idea tentang yang baik, yang bermarwah, dan yang seharusnya. Untuk itu, putusan Mahkamah Agung menjadi taruhan. ***

Komentar