Kesenian Digelar di Pinggiran, LKKI: Kota Medan Akan Berkarakter, Pemko Harus Punya Dana Abadi

Budaya637 Dilihat

MEDAN – Kegiatan seni budaya di Kota Medan sebaiknya tidak semata digelar dipusat kota, tapi diselenggarakan di pinggiran Kota Medan agar bermanfaat dan dapat dirasakan masyarakat. Dengan demikian kegiatan kesenian dan kebudayaan menjadi terbagi dan merata serta tumbuh berkembang.

Demikian dikatakan Ketua Lembaga Kajian Kebudayan Indonesia (LKKI) Rizal Siregar, saat dihubungi, Sabtu (20/5/2023). Ia menyebut, selama ini acara kesenian selalu diadakan di pusat Kota, akibatnya masyarakat pinggiran tak dapat menyaksikan karena faktor ekonomi atau lainnya. Satu diantaran kegiatan yang dipusatkan di tengah kota Meden yakni acara Games yang digelar di Istana Maimoon baru-baru ini.

“Bukan tak boleh diselenggarakan di pusat kota, seperti di Istana Maimoon, Lapangan Benteng, Kesawan, termasuk di kantor Walikota sekalipun. Akan tetapi kegiatan kesenian itu tak bisa dikunjungi warga Medan yang ada di pinggiran kota. Apalagi informasinya tak sampai ke pinggiran kota Medan,” ujar Rizal.

Padahal, menurut anak Medan yang kini menetap di Jakarta ini, masyarakat pinggiran Medan itu juga punya hak untuk diberi hiburan den sentuhan kesenian dan budaya lokal. Tentu akan bermanfaat jika kegatan juga diselenggarakannya di pinggiran kota Medan. Selain memperkenalkan kembali kesenian dan budaya yang dulu berjaya kini mulai terkikis dan binasa.

“Manfaatnya tentu jelas, jika berbagai acara digilir di kampung-kampung buat warga pinggiran. Tentu akan bermanfaat bagi ekonomi setempat juga sebagai refresing masyarakat karena disentuh dengan kegiatan seni dan budaya. Penggiat kesenian pun bergairah kembali,” ujar Rizal.

Menurut lelaki yang sempat aktif berteater di Teater Imago Medan dan Teater Taman Budayan Medan di tahun 80-an ini, kegiatan kesenian terasa sangat minim di Medan.

Selain tiadanya gedung kesenian yang representatif, juga nyaris jarang sekali aktivitas kesenian berskala besar. Sudah jarang, apa lagi di pinggiran nyaris tak ada.

“Tanpa gedung kesenian yang berstandar internasioanl, apa seniman manca negara mau tampik di Medan? Kapan masyarakat Medan bisa menyaksikan kesenian bertaraf internasional di Kota Medan? Itulah gunanya gedung pertunjukan bertaraf internasional. Minimal satu lah,” katanya dengan dialek Medan yang kental.

Pemko Medan kata Rizal harus membenahi kesenian dan kebudayaan lokal (Medan, red). Konten lokal sudah mulai terkikis habis. Budaya media sosial (Medsos) yang telah menyeruak keseluruh anak negeri membuat seni pertunjukan dengan konten lokal mulai ditinggalkan.

“Kemaren saya amati, dari dana Indonesiana ada dua acara di sekitar Medan, yakni ‘Revolusi Jamu’ dan ” Payau Puan Paloh’. Tapi sayang itu di suport penuh oleh kementerian, bukan murni gawean nya Pemko Medan. Saatnya, Pemko Medan memberikan perhatian kepada kesenian dan budaya,” tegasnya.

Padahal menurut Rizal, acara seperti itu frekwensi nya harus bisa dibanyakin. Tidak perlu diadakan di pusat-pusat kota, lantaran manfaatnya kurang banyak selain bisa menyebabkan sedikit kemacetan dan mengganggu kelancaran berlalu lintas.

Pemkot Medan, lanjutnya, mestinya bisa melirik kepada apa yang dilakukan pemerintah pusat dengan menduplikasinya.

Presiden Joko Widodo, misalnya, telah sukses menyelenggarakan event-event internasional justru di pelosok-pelosok atau daerah. Simak saja seperti di Labuan Bajo, Nusata Tenggara Timur, yang baru-baru ini buat penyelenggaraan KTT ASEAN 2023.

“Itu trik Pak Presiden yang menurut saya sangat besar manfaatnya buat masyarakat di Labuan Bajo. Pada hari penyelenggaraan dikabarkan 70 persen pergerakan ekonomi yang bergerak dinamis, ” sebutnya.

Bukan cuma Labuan Bajo, untuk meningkatkan taraf ekonomi, Presiden juga membuat Sirkuit Mandalika di Sekotong Lombok Timur. Saat diadakannya realy pendapat masyarakat di sana naik tinggi. Begitu juga di desa-desa seputaran Danau Toba, mulai banyak diselenggarakan berbagai event.

“Nah jika Kota Medan mau meniru pemerintah pusat setidaknya seperti apa yang dikerjakan Kemendikbudristek, Medan akan menjadi kota yang hidup. Kejayaan kota Medan sebagai kota seni dan budaya akan bangkit dan kian menggeliat. Kota Medan tentu sedikit demi sedikit, maju parawisaranya dan sejahtera masyarakat kreatifnya, juga yang ada di pinggirannya,” urainya.

Untuk itu kata Rizal, Pemko Medan harus menyediakan dana abadi seperti yang dibuat pemerintah pusat. Dari dana abadi inilah, para kreator kota Medan, berlomba menjual gagasan untuk menghidupkan sebuah kota melalui kesenian, kebudayaan dan pariwisata.

“Dengan begitu banyak manfaat bisa dipetik dari berbagai kegiatan yang bertujuan pada pemajuan kebudayaan seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” sambungnya.

Selain Medan, mestinya Pemrov Sumut juga begitu. Beberapa penerima manfaat dana Indonesiana juga sudah menyelenggarakan event-event kebudayaan di desa-desa dan itu sangat strategis untuk membangun kebudayaan yang diinginkan sesuai undang-undang tersebut.

“Seperti Festival Koeli Kontrak yang diselenggarakan di Desa Seintis, Festival Budaya Jawa Deli di Desa Helvetia dan beberapa lainnya itu, sangat cocok bila dukung penuh oleh pemerintah daerah. Intinya pembagian manfaat bisa merata hingga ke masyarakat desa, ” sebutnya.

Padahal kata Rizal, Kota Medan punya potensi besar untuk menghidupkan sisi-sisi pinggiran lantaran punya fenomena alam yang bagus.

Punya Sungai Deli yang bisa dieksplorasi, punya Medan Utara yang begitu indah, punya desa pinggiran seperti di Sampali yang kaya sejarah, juga daerah Selatan seperti Johor, Titi Kuning dan Simalingkar dan Medan Zoo. Tak ketinggalan punya peninggalan Tembakau Deli yang termashur yang tak dimiliki kota lain.

“Jika Pemko Medan jelih melihat potensi ini, maka dalam tempo tidak lama, Medan akan menjadi kota yang maju sekaligus berbudaya. Kuat dan berkarakter. Dinamis dan sejahtera. Pembangunan tidak hanya dinikmati oleh warga pusat kota saja, ” tutupnya. (***)

Komentar